Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan
tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki
kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong
semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin
Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950
berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit
anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke
atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat
mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari
pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik
Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan
pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program
ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi
nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
·
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
·
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
·
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu
dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
·
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan
berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program
Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953)
lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari
program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik
meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini
disebabkan karena :
·
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan
pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
·
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung
konsumtif.
·
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
·
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan
usahanya.
·
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar
dan menikmati cara hidup mewah.
·
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari
keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan.
Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa
defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri
keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan
pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para
pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan
mengurangi volume impor.
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche
Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai
pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini
menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank
sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang
No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq
Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari
program ini adalah:
·
Untuk memajukan pengusaha pribumi.
·
Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi
nasional.
·
Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional
pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
·
Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara
pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan
sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan
Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan
tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki
jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab:
·
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan
alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non
pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
·
Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih
mengutamakan persaingan bebas.
·
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar
bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara
pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai
kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
·
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
·
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan
bilateral.
·
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional,
tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia
mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan
pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan
diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956,
akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB.
Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan
pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang
silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan
terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada
masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini
merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri
perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun
(RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui
DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah
melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan
12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
·
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat
pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan
negara merosot.
·
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak
ekonomi.
·
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak
daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah.
Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah
Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah
rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh
untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak
dapat dilaksanakan dengan baik karena:
·
Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
·
Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
·
Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta
sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik
Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi
bersenjata.
Orde Baru
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per
kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat,
inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan
pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran
pembangunan dibiayai melalui bantuan
asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan
hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor
eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan
pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata
mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui
Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa
kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan
tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau
menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana,
dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan
pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan
oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan
domestik, dan hambatan
ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada
akhir 1997dengan cepat berubah menjadi sebuah
krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini
adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar
rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia
dan International
Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program
reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan
beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan
Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto.
Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada
akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca Suharto
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana
di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden
pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program
tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan
melebihin Rp 6300 Trilyun [1] meningkat lebih dari 100 kali
lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah
negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota
Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia
dari tahun ke tahun[2] oleh IMF dalam juta rupiah.
|
Tahun
|
PDB
|
|
|
1980
|
60,143.191
|
|
|
1985
|
112,969.792
|
|
|
1990
|
233,013.290
|
|
|
1995
|
502,249.558
|
|
|
2000
|
1,389,769.700
|
|
|
2005
|
2,678,664.096
|
|
|
2010
|
6,422,918.230
|
|
Kajian Pengeluaran Publik
Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil
atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia
telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan
kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam
pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara
drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada
dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena
kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit
anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah
mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun
2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja
pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama
pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat
menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam
stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat
risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat
inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk
memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar
[4] tambahan untuk pengeluaran bagi program
pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar
[5] telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan
pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara
keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini
berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar
[6] ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan.
Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan
pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun
1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang
besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan
keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai
hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar
biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan,
dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun
mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah.
Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih
sekitar US$ 10 miliar
[7] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15
persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian
besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah
daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang
membelanjakan 37 persen
[8] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat
desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini
tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki
pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal
tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk
mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator
sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi
berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan
publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu,
alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana
tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja
publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen
[9] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi
tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen
[10] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya
2.0 persen dari PDB pada tahun 2001
[11] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih
dibawah 1.0 persen dari PDB
[12]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih
belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat
3.4 persen dari PDB
[13]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah
tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar
15 persen pada tahun 2006
[14], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas
sumber daya publik.